Beranda | Artikel
Safinatun Naja: Syarat Sah Shalat
Minggu, 5 Desember 2021

Syarat sah shalat itu apa saja? Di dalam bahasan ini dibahas pula masalah hadats dan rincian aurat.

 

 

 

[Syarat Shalat]

 

شُرُوْطُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَةٌ:

1- طَهَارَةُ الْحَدَثَيْنِ.

وَ2- الطَّهَارَةُ عَنِ النَّجَاسَةِ فِيْ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ وَالْمَكَانِ.

وَ3- سَتْرُ الْعَوْرَةِ.

وَ4- اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ.

وَ5- دُخُوْلُ الْوَقْتِ.

وَ6- الْعِلْمُ بِفَرْضِيَّتِهَا.

وَ7- أَنْ لاَ يَعْتَقِدَ فَرْضَاً مِنْ فُرُوْضِهَا سُنَّةً.

وَ8- اجْتِنَابُ الْمُبْطِلاَتِ.

 

Fasal: Syarat shalat ada 8, yaitu [1] suci dari dua hadats (besar dan kecil), [2] suci dari najis pada pakaian, badan, dan tempat, [3] menutup aurat, [4] menghadap qiblat, [5] masuk waktu, [6] mengetahui bahwa shalat itu fardhu, [7] tidak meyakini fardhu shalat sebagai sunnah, dan [8] menjauhi pembatal-pembatalnya.

 

Catatan:

Syarat wujub (diwajibkan shalat) ada enam:

(1) Islam*,

(2) baligh,

(3) berakal,

(4) bersih dari haidh dan nifas,

(5) telah sampainya dakwah,

(6) selamat panca indera.**

Lihat Nail Ar-Rajaa’ bi Syarh Safinah An-Najah, hlm. 207.

 

Catatan dari Syaikh Dr. Labib:

*Orang kafir ketika kafirnya tidaklah dituntut untuk shalat karena shalatnya dianggap tidak sah. Ia tidaklah diperintah untuk mengqadha’ shalatnya kalau kafirnya adalah kafir asli. Sedangkan orang murtad, ia diperintahkan mengqadha’ shalatnya ketika kembali masuk Islam.

**Shalat bagi orang yang lahir dalam keadaan buta dan tuli tidaklah wajib, ia tidak perlu mengqadha kalau akhirnya bisa melihat atau mendengar.

 

Syarat untuk tiap ibadah:

  1. Islam
  2. Tamyiz
  3. Ilmu mengenai wajibnya
  4. Tidak meyakini sesuatu yang wajib sebagai sunnah.

Syarat yang khusus untuk shalat:

  1. Suci dari hadats kecil dan hadats besar
  2. Suci dari najis pada badan, pakaian, dan tempat
  3. Menutup aurat
  4. Menghadap kiblat
  5. Masuk waktu shalat

 

Pertama: Suci dari dua hadats

Maksudnya adalah suci dari hadats kecil dan hadats besar dengan air atau debu (dengan syaratnya). Shalat dari orang yang tanpa bersuci padahal air atau debu itu ada, lalu dalam keadaan sengaja dan tahu, ia berdosa. Kalau dalam keadaan lupa, ia diberi ganjaran karena niatnya. Adapun yang luput dari air atau debu, ia wajib shalat dalam rangka menghormati waktu dan shalatnya tetap diulang.

 

Shalat dalam keadaan berhadats:

  1. Siapa yang shalat dalam keadaan lupa atau tidak tahu kalau ia masih dalam keadaan berhadats, maka shalatnya wajib diulangi. Hal ini disepakati oleh para ulama sebagaimana ada ijmak yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Rajab.
  2. Siapa yang tidak mendapati air, juga tidak mendapati debu karena ada uzur yang teranggap (seperti karena ditawan atau sakit), maka ia shalat sesuai kondisinya, dan shalatnya tidak perlu diulang. Inilah pendapat dalam madzhab Hambali, pendapat ulama Malikiyyah, salah satu pendapat Syafi’iyyah, dipilih pula oleh Imam Bukhari, Ibnu Hazm, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu ‘Utsaimin, dan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (komisi fatwa KSA).

 

Kedua: Bersuci dari najis pada pakaian, badan, dan tempat

Maksudnya adalah suci dari najis ghair al-ma’fuu ‘anhaa, najis yang tidak termaafkan.

As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar menjelaskan, “Bersuci dari najis maksudnya adalah membersihkan najis yang tidak dimaafkan yang ada pada pakaian orang yang shalat dan semacamnya, termasuk juga yang dibawa, atau menempel dengan sesuatu yang dibawa. Begitu pula yang dimaksud adalah bersuci dari najis yang ada pada badan, termasuk yang ada dalam bagian dalam mata, mulut, dan hidung. Begitu pula tempat yang digunakan untuk shalat harus suci karena bertemu langsung dengan badan dan sesuatu yang dibawa.” (Nail Ar-Rajaa’ bi Syarh Safinah An-Najah, hlm. 207).

 

Rincian pendapat ulama, shalat dalam keadaan bernajis:

  1. Jika tidak mampu atau ada bahaya sehingga tidak bisa menghilangkan najis, maka shalat dalam keadaan seperti itu, dan shalatnya tidak perlu diulangi. Inilah pendapat ulama Hanafiyyah, salah satu pendapat Hambali, pendapat Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin.
  2. Jika mendapati najis pada badan atau pakaian ketika shalat, maka hendaklah najis tersebut dihilangkan tanpa tersisa, maka shalatnya tetap sah. Seperti ini adalah ijmak sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi dan Ibnu Hajar.
  3. Jika seseorang shalat terkena najis dalam keadaan lupa, tidak tahu, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulang. Inilah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, pendapat Imam Syafi’i yang qadim, dipilih oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin.

 

Ketiga: Menutup aurat

Syarat sah shalat yang ketiga adalah menutup aurat dengan sesuatu yang menyelimutinya dan dapat mencegah untuk mengetahui warna kulitnya dilihat dari jarak pembicaraan biasa bagi orang yang normal pandangannya. Apabila penutup itu menampakkan bentuk tubuhnya (seperti celana ketat), masih diperbolehkan untuk shalat (tetapi disertai hukum makruh). Sesuatu yang tidak ada jizmnya (konkritnya) tidak bisa dijadikan penutup aurat seperti gelap malam, bekas pacar, atau pewarna yang tidak wujud konkrit menutup.

Apabila seseorang tidak mendapati sesuatu yang menutupi seluruh auratnya, maka dahulukan menutup qubul dan dubur, kemudian menutupi qubul (kemaluan). Bila tidak mendapati apa pun, maka diperbolehkan mengerjakan shalat dalam keadaan telanjang dan tidak perlu diqadha’ shalatnya.

 

Catatan dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i mengenai syarat menutup aurat:

 

  1. Menutup aurat ini termasuk syarat sah shalat, baik bagi laki-laki maupun perempuan, baik shalat di hadapan orang lain maupun shalat sendirian, berlaku dalam shalat wajib maupun shalat sunnah, shalat jenazah maupun thawaf, termasuk pula ketika melakukan sujud tilawah dan sujud syukur.
  2. Jika aurat orang yang shalat itu terbuka, tidak sah shalatnya baik terbuka banyak maupun sedikit, atau itu sebagian saja. Walaupun ia shalat dalam keadaan tertutup dari pandangan orang, kemudian setelah selesai shalat, ada bagian yang terbuka auratnya, wajib shalatnya diulang, terserah ia mengetahuinya sebelum shalat lalu ia lupa, ataukah ia tidak mengetahuinya sama sekali.
  3. Jika aurat terbuka karena angin, lalu ditutup seketika itu juga, shalatnya tidak batal. Namun, jika tidak segera ditutup, shalatnya batal karena kelalaian.
  4. Jika tidak mampu menutup aurat, wajib shalat dalam keadaan telanjang, kemudian ia lakukan rukuk dan sujudnya, dan tanpa mengulangi shalatnya menurut pendapat al-ashah (yang paling kuat). Namun, jika pakaian untuk menutup aurat mampu dibeli atau disewa, maka wajib dibeli atau disewa. Atau kalau ada pakaian orang lain, bisa meminta izin meminjamnya.
  5. Hikmah menutup aurat dalam shalat adalah karena seseorang yang shalat sedang menghadap Allah, maka harusnya dalam keadaan yang sempurna dan terbaik.
  6. Di luar shalat juga wajib menutup aurat kecuali dalam keadaan sendirian karena ada hajat seperti mandi.
  7. Jika seorang muslim atau muslimah dalam keadaan butuh atau darurat diminta untuk menyingkap aurat, misal untuk kebutuhan berobat atau khitan, maka boleh seperti itu. Kondisinya ketika itu dalam keadaan hajat dan darurat. Namun, yang dibuka hanyalah yang butuh dilihat.

 

 

Keempat: Menghadap kiblat

Syarat sah shalat yang keempat adalah menghadap ‘ainul Kabah (persis ke Kabah) dengan dadanya. Apabila seseorang shalat di dalam Kabah, maka wajib menghadap ke bangunan Kabah setinggi 2/3 hasta (sekitar 30 cm) atau lebih, seperti menghadap ke pintunya yang tertutup atau ambang pintu.

 

Beberapa masalah yang tidak disyaratkan menghadap kiblat:

  1. Shalat sunnah dalam perjalanan (safar) yang diperbolehkan syariat menuju suatu tempat, yang batasannya hingga tidak terdengar panggilan Jumat (atau lebih dari batasan itu), jika terpenuhi syarat qashar shalat (di antaranya menempuh jarak 83 km).
  2. Shalat dalam keadaan syiddah al-khauf (sangat genting, sangat takut).
  3. Shalat yang disamakan dengan keadaan khauf, seperti shalat yang tidak mampu menghadap kiblat karena sakit dan tidak ada seseorang yang menghadapkannya ke kiblat, atau shalat orang yang sedang terombang-ambing di lautan, atau orang yang sedang terikat di sebuah kayu, misalnya, atau tersalib, ia shalat sesuai kemampuannya, shalatnya nanti diulangi. Adapun shalat syiddah al-khauf dan shalat sunnah saat safar tidak perlu diulangi.

 

Kelima: Masuk waktu shalat

Masuk waktu shalat bisa diketahui secara yakin atau sangkaan dengan ijtihad.

 

Keenam: Mengetahui shalat itu fardhu

Orang yang shalat mesti meyakini bahwa shalat itu wajib. Jika ia ragu-ragu akan wajibnya, shalat tidaklah sah.

 

Ketujuh: Tidak meyakini fardhu shalat sebagai sunnah

Bentuknya:

  1. Meyakini rukun tertentu dalam shalat sebagai perkara sunnah, shalatnya tidak sah.
  2. Meyakini seluruh rukun shalat sebagai perkara sunnah, shalatnya tidak sah pula.

Misal yang tidak sah: Meyakini membaca surah Al-Fatihah dan rukuk sebagai sunnah shalat.

 

Kedelapan: Menjauhi pembatal-pembatalnya

Insya Allah akan datang penjelasannya.

 

[Pembagian Hadats]

 

الأَحْدَاثُ اثْنَانِ: أَصْغَرُ، وَأَكْبَرُ.

فَالأَصْغَرُ: مَا أوْجَبَ الْوُضُوْءَ.

وَالأَكبَرُ: مَا أَوْجَبَ الْغُسْلَ.

 

Hadats itu ada dua, yaitu ashghor (kecil) dan akbar (besar). Ashghor adalah hadats yang mewajibkan wudhu dan akbar adalah yang mewajibkan mandi.

 

Catatan:

Ahdats adalah bentuk jamak dari hadats. Secara bahasa, hadats berarti sesuatu yang terjadi.

Secara istilah syariat, hadats memiliki tiga makna:

  1. Sebab yang menghentikan thaharah (bersuci)
  2. Suatu perkara maknawi yang terdapat di anggota tubuh dan mencegah sahnya shalat, di mana tidak ada suatu keadaan yang membolehkannya.
  3. Suatu pencegah yang terjadi karena adanya beberapa sebab.

Yang dimaksud dalam pembahasan kali ini adalah yang pertama.

Sebab yang menghentikan thaharah ada dua macam:

  1. Hadats kecil
  2. Hadats besar

Hadats kecil adalah hadats yang mewajibkan wudhu karenanya seperti hilang akal, keluarnya sesuatu selain mani dari dua jalan yaitu qubul dan dubur.

Hadats besar adalah hadats yang mewajibkan mandi karenanya seperti haidh dan junub.

[Pembagian Aurat]

 

الْعَوْرَاتُ أَرْبَعٌ:

1- عَوْرَةُ الرَّجُلِ مُطْلَقَاً.

وَالأَمَةِ فِيْ الصَّلاَةِ مَا بَيْنَ السُّرَةِ والرُّكْبَةِ.

وَ2- عَوْرَةُ الْحُرَّةِ فِيْ الصَّلاَةِ: جَمِيْعُ بَدَنِهَا مَا سِوَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ.

وَ3- عَوْرَةُ الْحُرَّةِ وَالأَمَةِ عِنْدَ الأَجَانِبِ: جَمِيْعُ الْبَدَنِ.

وَ4- عِنْدَ مَحَارِمِهمَا وَالنِّسَاءِ: مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ.

 

Aurat itu ada 4, yaitu [1] aurat lelaki mutlak dan budak wanita di dalam shalat yakni antara pusar dan lutut, [2] aurat wanita merdeka (bukan budak) di dalam shalat adalah seluruh badannya selain wajah dan telapak tangan, [3] aurat wanita merdeka dan budak wanita terhadap lelaki asing adalah seluruh badannya, dan [4] sementara aurat keduanya terhadap mahrom dan wanita lain adalah antara pusar dan lutut.

 

Catatan:

Aurat secara bahasa berarti an-naqshu, sesuatu yang kurang.

Aurat adalah sesuatu yang wajib ditutupi. Hal ini dijelaskan oleh para ahli fiqih dan dijelaskan dalam syarat shalat. Ulama lainnya mengatakan, aurat adalah sesuatu yang diharamkan untuk dilihat. Pengertian kedua ini akan ditemukan dalam bahasan nikah.

 

Macam aurat dipandang dari batasannya bagi setiap orang dan setiap keadaan terbagi menjadi empat:

 

(1) Aurat laki-laki (secara mutlak, di dalam shalat dan di luar shalat) dan budak wanita di dalam shalat:

  • Antara pusar dan lutut.

Baiknya pusar dan lutut ditutup karena:

مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Sesuatu yang tidaklah sempurna yang wajib kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib. Maka menutup bagian dari pusar dan bagian dari lutut itu wajib.

 

(2) Aurat wanita di dalam shalat:

  • Seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
  • Termasuk bagian dalam telapak kaki wajib ditutup.
  • Tangan yang boleh dibuka adalah punggung dan bagian dalam telapak tangan hingga pergelangan tangan.
  • Pergelangan tangan wajib ditutup.

Baca juga: Apakah Bawah Dagu Wanita Harus Ditutup Saat Shalat?

 

(3) Aurat wanita dengan laki-laki ajanib (bukan mahram):

  • Seluruh tubuh sampai pun wajah dan kedua telapak tangan. (menurut penulis Safinah An-Naja)

Ajanib adalah yang tidak memiliki hubungan mahram karena nasab, persusuan, atau pernikahan.

Mengenai aurat wanita di luar shalat diterangkan dalam dua ayat berikut ini.

Ayat pertama,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Ayat kedua,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya.” (QS. An-Nuur: 31)

Keterangan mengenai surah An-Nuur ayat 31, silakan perhatikan perkataan ulama Syafiiyyah berikut ini.

Imam Ibrahim bin Ahmad Al-Baajuuri rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa dilarang wanita membuka wajahnya. Memandang wanita dapat membangkitkan syahwat dan menimbulkan godaan. … Yang baik dalam syariat ini adalah menutup jalan agar tidak terjerumus dalam keharaman. Sebagaimana berdua-duaan dengan yang bukan mahram juga dilarang karena menutup jalan agar tidak terjerumus dalam yang haram yang lebih parah. Namun, ulama Syafiiyah lainnya berpandangan bahwa membuka wajah tidaklah haram. Karena hal itu masih masuk dalam ayat “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya”. Yang dimaksudkan yang boleh ditampakkan adalah wajah dan telapak tangan, menurut ulama yang lain. Adapun yang menjadi pendapat resmi madzhab (pendapat mu’tamad) adalah pendapat yang mengatakan bahwa wajah itu ditutup, terkhusus lagi zaman ini dengan banyakan wanita yang keluar di berbagai jalan dan pasar. Namun, taklid pada pendapat kedua yang membolehkan membuka wajah tak masalah.” (Hasyiyah Al-Baajuuri, 3:332-333)

Baca juga: Ajaklah Keluarga untuk Memakai Jilbab

 

(4) Aurat wanita di hadapan wanita muslimah dan mahram: antara pusar dan lutut.

Catatan: Aurat wanita muslimah di hadapan wanita kafir adalah yang tidak tampak saat bersih-bersih di dalam rumah.

 

Referensi:

  • Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
  • Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj.
  • Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuuri. Penerbit Dar Al-Minhaj.
  • Tahqiq Ar-Raghabaat bi At-Taqaasim wa At-Tasyjiraat li Thalabah Al-Fiqh Asy-Syafi’i. Syaikh Dr. Labib Najib ‘Abdullah Ghalib.

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/31111-safinatun-naja-syarat-sah-shalat.html